Menurut Martin, dalam kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat 'angker' lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu ('ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik ('wahyu' - istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam,
Makkah lah yang tentu saja dianggap sebagai pusat kosmis utama. Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah di sana turun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusatkeilmuan Islam?. Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Makkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di Tanah Suci ini. Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah.
Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar 'Sultan'. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.
Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 1641). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dari kiswah, kain hitam yang menutup Ka`bah dan yang setiap tahun diperbaharui - yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus.
Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), AbdulQahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, babad yang dikarang pada paroh kedua abad ke-17.
Menurut sejarah legendaris ini, pendiri dinasti Islam di Banten, Sunan Gunung Jati, naik haji bersama dengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagai gunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwa haji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya.Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patut diungkapkan.
Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya: "Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!"
Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampaidi Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan do'anya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannyarukun haji dan kesempurnaan haji.
Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan bai'at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul...
Selain dua tokoh sejarah ini, masih banyak tokoh lain yang belakangan, untuk meningkatkan kharisma mereka, disebut telah naik haji secara supranatural. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusatpenyebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untuk pergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah.
Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Dan sampai sekarang masih ada kyai di Jawa yang, menurut penganut mereka yang paling fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram.
Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorangdalam pandangan orang Jawa. Penilaian orang Jawa yang begitu tinggi terhadap Makkah sebagai pusat spiritual tidak terbatas pada kalangan santri saja.
Kasus yang paling menarik dari tokoh yang belakangan 'dihajikan' oleh pengagumnya adalah Aji Saka, pencipta mitologis budaya Jawa. Menurut suatu naskah Jawa, yang ditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, Aji Saka pergi keMakkah dan memperoleh ilmu dari Nabi Muhammad.
Yang lebih mengagetkan lagi, orang Tengger, yang konon menganut agama Hindu Jawa, juga pernah mengaku demikian. Menurut legenda Tengger ini, Aji Saka pada awalnya memperoleh ilmu dari Antaboga, sang raja naga. Setelah dikembalikan ke rumah kakeknya, Kiai Kures (Quraisy), sang kakek melihat cucunya menjadi luar biasa cakap. "Tetapi ada satu yang masih lebih cakap dari ia", ujar Antaboga, "namanya adalah Muhammad dan tempat tinggalnya Makkah. Kirimlah cucumu kepada beliau agar menambah ilmu."
Aji saka kemudian dikirim ke Makkah, dan di sana berguru kepada Nabi Muhammad. Setelah selesai belajar, Muhammad memberikannya sebuah kropak (buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis atas lontar), dan mengirimnya kembali ke Timur.
ilustrasi : Foto Makkah tempo dulu |